Jumat, 25 Mei 2012
Cerpen: "GRANDFATHER AND HIS BROTHER".
Tema jepretan gw, di minggu ini!
"GRANDFATHER AND HIS BROTHER".
Nah! :D
***
Mini Story
"PEMUDA BAHARI"
By. Emira Dian Mayasarie
Kutanya grandma..
"Apa dulu setiap pemuda, selalu berpakaian seformal ini? Kuliah? Berpesta? Atau sekedar ke rumah pacar?"
Mendengar pertanyaanku, grandma tersenyum..
"Ya.." Balas grandma. "Mereka terlihat lebih rapi, dibanding pemuda sekarang 'kan?"
Aku mengangguk..
"Pakaiannya terlalu formal, grandma. Kontras dengan pemuda di zaman ini. Mereka jauh lebih simpel. Bahkan boyband SUJU, menyanyikan sebuah lagu yg berjudul 'Mr. Simple'.." Sahut ku, melirik kearah grandma. Grandma hanya tertawa. Sepertinya grandma tak mengerti, aku sedang berbicara apa.
"Mereka berbusana rapi, bak pangeran 'kan? Itulah kenapa, banyak gadis yang mulai jatuh hati padanya.." Simpul grandma.
"Oh. Jadi, dulu grandma juga memimpikan datangnya seorang pangeran?" Tanyaku.
Grandma mengusap rambutku dan menatap mata coklatku. Mataku berbinar-binar menunggu jawaban.
"Tidak. Dulu grandma tidak pernah memimpikan datangnya seorang pangeran.." Ujar grandma.
"Ah?" Jawaban grandma sedikit membuatku heran.
"Dulu semasa muda, grandma hanya memimpikan datangnya seorang ksatria?" Lanjut grandma.
"Ksatria?" Ucapku bertambah heran.
"Ya.." Angguk grandma. " Ksatria itu seperti seseorang yg penuh usaha dan perjuangan lewat tangannya sendiri, seorang laki-laki pemberani yg bertanggung jawab, berbuat sesuatu untuk keluarga dan orang banyak.."
"Ooh.." Responku singkat.
Cerita grandma, terdengar tak lagi sederhana.
THE END
Cerpen: "ADA APA DENGAN CINTA?"
Siapakah korban jepretan gw, di minggu ini! Ahah :D
***
Mini Story..
"ADA APA DENGAN CINTA?"
By. Emira Dian Mayasarie
Pria misterius bernama Rangga, duduk menyepi disudut ruang baca, menunggu Cinta. Seraya terus bertanya pada dirinya, "Ada apa dengan cinta?".
Rambut ikalnya, menutup wajah dingin itu. Ditangan sang pujangga, terbuka lebar buku "AKU". Karya sang penyair lama, namanya tak pernah dilupa. Tetap harum bak bunga mawar, dialah Chairil Anwar.
*
AKU
Oleh: Chairil Anwar (Maret 1943)
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau!
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari..
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
*
Ketika aku ingin bergegas pulang, kulihat Rangga terus saja menanti Cinta. Namun cinta, tak juga datang menghampirinya.
Kemana 'kah, cinta?
Ada apa dengan cinta?
Lalu terdengar sayup, suara Rangga berkata..
"Ada dan tiada cinta, bagiku tak mengapa. Namun ada yg hilang, separuh diriku.."
THE END
Rabu, 02 Mei 2012
"Broken Angel" By. Emira Dian Mayasari
“Ka!
Tunggu, Ka!” Seru Tere menarik pergelangan tangan kiri Tara. “Kak Tara, abis
dari mana?!”
“Baru kelar latihan basket..” Jawab Tara menuju kamar tidurnya.
“Jangan
bohong, Ka! Pasti kakak abis jalan, bareng Rena ‘kan?!”
“Kamu gak lihat, ini ada bola basket ditangan kakak..”
“Oh?! Baru
main basket bareng Rena, juga?!” Sahut Tere sinis.
“Kenapa sih ‘Ter, semuanya selalu kamu hubungkan dengan Rena?!”
“Siapa
lagi, kalau bukan dia ‘Kak?! Selama ini Rena ‘kan, yg lebih penting buat
kakak!” Gerutu Tere mendorong pundak Tara pelan. “Aku ini saudara kembar kakak,
kan?! Tapi kenapa?! Kak Tara lebih suka menghabiskan waktu bareng Rena,
ketimbang aku!” Lanjut Tere, menahan tangis. “Apa kak Tara malu, punya adik
cacat seperti aku!”
“Kakak kurang apa, buat kamu ‘Ter?! Sebagian
besar waktu kakak, hanya untuk kamu!” Balas Tara, meninggi. “Bahkan kakak tak
begitu peduli dengan urusan akademik. Karena apa?! Hanya karena kakak, ingin
punya banyak waktu untuk menjaga kamu!”
“Jadi, aku
yang salah?! Aku gak pernah minta, kecelakaan itu ada, dilahirkan untuk jadi
cacat begini, apalagi untuk merepotkan kakak!”
“Siapa bilang, kamu merepotkan!” Balas Tara. “Kakak
cuma ingin kamu mengerti, kalau..”
“Kalau
Rena lebih penting?!” Sahut Tere memotong ucapan Tara.
“Bukan begitu, Ter. Kamu tau? Demi kamu kakak
rela, tak mengungkapkan rasa cinta kakak pada Rena, hampir 7 tahun lamanya.
Menurutmu, ini belum cukup?”
“Aku gak
suka, lihat kak Tara jalan bareng Rena! Gak suka, Ka!”
“Memangnya Rena salah apa, ke kamu?!”
“Kalau aku
bilang, gak suka! Ya, gak suka! Titik!”
“Terserah..” Gumam Tara pasrah, seraya menutup pintu kamarnya.
“Kak! Kak
Tara! Buka pintunya!” Teriak Tere seraya menggedor pintu. “Sampai kapan pun,
aku gak pernah suka! Kalau kak Tara jadian, sama Rena! Agh!”
*
Hari ini
di depan beranda kost, seperti biasa aku mengajari Tara beberapa materi mata
kuliah yang paling dibencinya. Selama aku SMA dan hingga kini aku duduk
dibangku kuliah, aku memang sering diminta oleh Tara untuk menjadi teman
belajarnya.
Tara
memang tercatat sebagai salah satu mahasiswa yang kurang, dalam hal akademik.
Aku akui, Tara lebih berbakat dalam bidang olahraga, khususnya basket. Karena
itu aku selalu berusaha dengan sabar mengajarinya, sampai Tara memang
benar-benar paham apa yang aku ajarkan padanya.
Tapi
adakalnya saat Tara melihat ekspresi wajahku yang mulai lelah, Tara pasti akan
berpura-pura mengerti agar aku dapat berhenti mengajarinya.
Entah
hanya kebetulan atau memang dijodohkan Tuhan untuk selalu bersama, sejak SMA
hingga berkuliah, aku dan Tara berada disatu jurusan dan kampus yang sama. Jadi
bisa disimpulkan, sudah terhitung hampir 7 tahun kami bersama.
Menjadi
teman dekat selama 7 tahun itulah yang membuat orang-orang mengira kami
pacaran. PadahaL, Tara tak pernah sekalipun menyatakan cinta. Meski
perhatiannya selama ini, benar-benar membuatku jatuh cinta.
“Ren..”
Ucap Tara melirik kearahku.
“Ya? Kenapa, Tar?”
“Kamu mau
gak.. Mm..” Seketika ucapan Tara terhenti, mimik wajahnya tampak memikirkan
sesuatu.
“Mau apa?” Tanyaku, berharap Tara meneruskan
kata-katanya dan memintaku untuk menjadi pacarnya.
“Mm..
kamu.. kamu mau gak..”
“Hh?”
“Eh, ini!
Ini!” Sahut Tara tiba-tiba menarik buku catatannya. “Kamu mau.. mau, kan?!
Ajari aku, teori ini! Teori yang ini! Aku.. aku belum..”
Aku pun
kecewa, setelah mendegar Tara melanjutkan ucapannya itu. Lagi-lagi tak
sesuai dengan harapanku, selama ini. Mungkin sudah takdirnya, Tara tak akan
pernah bisa menyatakan cintanya padaku.
“Oh, itu..” Balasku lirih. “Bukan ‘kah, aku baru menjelaskannya?”
“Ah? Apa?”
Kening Tara berkerut. “Astaga! Iya, Ren! Sorry!
Sorry, aku lupa! Gak jadi, Ren! Gak
jadi! Aku ngerti, kog! Aku ngerti, teori ini! Eheh..” Suara tawa Tara terdengar
dipaksa.
“Kalau memang belum paham, aku bisa menjelaskannya
sekali lagi kog ‘Tar..”
“Ah?! Gak,
Ren! Sumpah! Aku ngerti, kog!” Balas Tara yang kemudian bergegas merogoh isi
tasnya.
Entah apa
yang sedang dicarinya, tapi aku melihat kedua tangan Tara begitu sibuk
bergerak-gerak di dalam tas ranselnya.
Tanpa
membuang waktu, Tara mengeluarkan tangannya dari dalam tas. Aku sedikit dibuat
heran, ketika melihat tangan Tara dibalut boneka tangan berbentuk mickey mouse.
Tak beberapa lama, Tara menatap kearah boneka tangan itu dan berbicara dengan
suara yang terdengar sedikit aneh..
“Hay,
Rena..” Ujar Tara mengubah suaranya. Seolah-olah boneka tangan itu yang sedang
berbicara kepadaku.
“Ehm..” Aku tersenyum, ketika melihat tingkah
laku Tara menggerak-gerakkan boneka tangan itu di depanku.
“Thanks, Rena! Karena selama ini, kamu
mau berteman dengannya (Tara)..” Ucap boneka itu, seolah-olah berbicara.
“Mm, ya..” Balasku pelan, seraya melirik kearah Tara.
“Aku
heran? Apa kamu tak malu, punya teman sebodoh Tara. Ahah..” Boneka tangan itu
tertawa.
“Ah?” Sahutku. “Jangan mengulang kata itu. Tara
tak seperti itu..” Ujarku, menatap kesal wajah boneka itu.
Setelah
mendengar komentarku, Tara dengan cepat melirik kearahku.
“Tara itu, hanya lemah dalam hal mengingat
materi..” Jelasku. “Karena itu, Tara harus mengulang-ulangnya beberapa kali.
Tapi jika Tara sudah mengerti materi itu, aku percaya dia akan jauh lebih
pintar dariku..”
Sejenak
Tara berhenti menggerakkan boneka tangan miliknya. Tara terus menatapku dan
kemudian tersenyum.
Tapi tak
berselang beberapa detik, Tara kembali mengoceh dengan suara ala mickey
mouse-nya.
“Satu
pertanyaan lagi, Rena! Apa kamu tak bosan, selalu menjadi teman belajarnya? Dia
selalu merepotkanmu dan kamu selalu bersedia mengajarinya..”
Aku
tersenyum dan menyentuh hidung boneka tangan itu. Aku pun mulai memberanikan
diri untuk menjawab pertanyaannya kali ini.
“Aku tak pernah merasa bosan mengajarinya.. Itu karena aku..
Mm, aku..”
Belum
sempat aku menyelesaikan kata-kataku, ponsel Tara tiba-tiba saja berbunyi. Tara
bergegas melepas balutan boneka itu dari tangannya, lalu dengan cepat ia meraih
ponsel.
Tara
terlihat seperti sedang menerima sebuah message, entah dari siapa? Aku hanya
melihat Tara membacanya dengan wajah kusut.
“Kenapa,
Tar?”
“Biasa, Ren.. Tere minta jemput di kampusnya..”
“Oh.
Kalau begitu.. belajarnya, dilanjutkan nanti saja..”
“Kamu gak marah? Kalau besok, aku ganggu lagi..”
“Ahaha..”
Aku tertawa lepas. “Kamu mengajakku belajar, bukan untuk bermain ‘kan?”
“Hhm..” Giliran Tara yang tersenyum
kearahku. “Maaf, ya ‘Ren. Tere memang susah, kalau diminta menunggu..”
“Gak
masalah, Tar. Belajarnya 'kan, bisa lain kali..”
Tara
pun kembali tersenyum dan dengan cepat mengacak-acak rambut dikepalaku dengan
tangannya.
“Tara!
Sudah kubilang, jangan jahil!” Protesku.
“Ahaha..”
Tara
hanya tertawa, seraya membereskan buku-buku dan menyimpannya kembali ke dalam
tas ranselnya. Kecuali, boneka tangan itu..
“Oh, iya ‘Ren! Ini buat kamu..” Ujar
Tara menyodorkan boneka tangan itu kearahku.
“Buatku?”
“Anggap sebagai ucapan terima kasih,
karena selama ini kamu tak pernah bosan mengajariku..”
“Selalu
berkata begitu. Padahal, sudah banyak boneka yang kamu berikan..”
“Sudah, lah! Ambil aja..”
Aku
lantas menerima, boneka tangan pemberiannya. Lalu Tara beranjak dari tempat
duduk dan berjalan menuju mobil yang terparkir di depan pagar kost ku.
“Sampai ketemu besok, Ren. Bye..”
“Bye..” Balasku.
Bayangan
Tara perlahan menjauh dari hadapanku. Seketika mataku tertuju lagi pada boneka
tangan pemberiannya. Aku pun meraihnya dan mencoba memasangnya dikepalan
tanganku. Dengan wajah sumringah, aku berusaha meniru gaya bicara Tara dan
menggerak-gerakkan boneka tangan itu. Aku mencoba mengulang kembali,
pertanyaannya..
“Rena..
Apa kamu tak bosan, menjadi teman belajarnya (Tara)?” Gumamku, menggerakkan
bagian mulut boneka itu.
Aku
pun berusaha melanjutkan kembali jawabanku yang
sempat terpotong. Meski Tara, tak akan mungkin mendengar jawabanku ini.
“Kamu ingin tau, kenapa aku tak bosan
mengajarinya? Itu karena..” Sejenak kata-kataku terhenti, tapi dengan pelan aku
melanjutkannya kembali. “Itu karena.. aku sayang Tara..”
Mendadak
air mataku menetes begitu saja, aku juga tak mengerti kenapa?
*
Tepat
hari ini, Minggu pagi!
Tara
sudah lama, ingin mengajakku pergi kesalah satu wahana rekreasi untuk
menghabiskan waktu liburnya. Aku pun menerima, tawaran itu. Tara juga berjanji,
akan menjemputku. Tapi karena mendadak Tere ingin ikut pergi, Tara pun
memintaku untuk pergi sendiri. Tak jadi masalah buat ku, karena sejak dari
awal, aku memang tak pernah meminta Tara untuk menjemputku. Aku pun bergegas
pergi dengan sepeda motorku.
Sesampainya
di lokasi, Tara dan Tere terlihat sudah menunggu.
“Ma..
maaf. Kalian sudah lama menunggu, ya?”
“Banget! Pake tanya!” Protes Tere,
menatapku sinis. Namun Tara segera merangkul pundak Tere dan mencoba mencairkan
suasana.
“Ah?
Kita juga baru nyampe, Ren..” Ucap Tara berdalih. “Tunggu apalagi? Kita beli
tiketnya..”
“Yuk, Kak!” Seru Tere menarik
pergelangan tangan Tara dan melangkahkan kakinya, lebih cepat di depanku. Aku
pun, hanya bisa mengikuti mereka dari belakang.
“Ter!
Jangan terlalu cepat begitu, jalannya. Kakimu itu, belum sembuh total..”
“Tenang, Kak!” Timpal Tere, terus
saja menarik tangan saudara kembarnya.
Tak
jauh berbeda dengan kondisi di dalam, Tere tetap bersikap dingin padaku. Tere
tak mau melepas tangan Tara. Ia selalu menarik Tara, agar berjalan lebih cepat
dariku. Alhasil, langkah kakiku selalu tertinggal jauh dari mereka. Sesekali
Tara menolehkan wajahnya kearahku yang berada tepat dibelakangnya. Karena aku
tak mau Tara merasa tak nyaman denganku, aku pun selalu melepaskan senyum
kearahnya.
Keadaan
seperti ini terus berlanjut, hingga akhirnya kami memutuskan untuk pulang.
Namun, sesuatu terjadi pada sepeda motorku..
“Kenapa,
Ren?” Tanya Tara.
“Ini. Ban depan, bocor..”
“Bocor?”
Tara
kemudian mencek kondisi ban sepeda motorku.
“Mmh..
Pasti kena ranjau paku ‘Ren..” Simpul Tara memperlihatkan sebuah paku kecil
bengkok yang baru saja dicabutnya dari ban sepeda motorku. “Kalau begitu, biar
aku cari bengkel dulu. Kamu dan Tere, tunggu saja disini..”
“Apa?
Menunggu?!” Seru Tere lantang. “Gak! Aku gak mu! Aku mau pulang, Ka!”
“Tere..” Sahut Tara, menatapnya
kesal. “Kita bantu Rena dulu. Setelah itu, kakak antar kamu pulang..”
“Gak,
Kak! Aku mau pulang, sekarang!”
“Tere, kamu jangan manja!”
“Aku
capek, Kak! Please, pulang sekarang!”
Aku
pun tak tega, melihat Tere membujuk Tara untuk segera pulang. Apalagi mengingat
kaki dan tangan Tere yang masih belum sembuh total, karena kecelakaan yang
dialaminya beberapa bulan yang lalu.
“Tar,
lebih baik kamu mengantar Tere pulang. Aku bisa ‘kog, urus ini sendiri..”
“Tapi, Ren?”
“Tere
gak mungkin menunggumu dengan kondisi seperti itu..”
“Tapi ‘kan? Aku yang mengajakmu pergi..”
“Kak
Tara, buruan! Aku capek, Kak!” Terdengar bujuk Tere untuk kesekian kalinya.
Aku
juga terus ikut membujuk Tara untuk segera mengantar Tere pulang.
“Tar..” Ujarku memelas.
“Tapi
ini?”
“Tenang, Tar..” Balasku. “Kau lihat
banyak orang disini, aku bisa meminta bantuan mereka..”
“Tapi
‘Ren, aku..”
“Hhm..” Anggukku memotong ucapannya,
berharap Tara segera memenuhi permintaan Tere untuk mengantarnya pulang.
Tere
pun segera merangkul pundak Tara dan membawanya pergi menjauh dariku.
Sekarang
Tara sudah tak lagi dihadapanku, jadi tak masalah jika kini aku terlihat
sedikit menangis. Bagaimana pun, aku ini manusia biasa. Hal seperti ini, akan
sangat wajar jika membuatku berair mata.
*
Keesokkan
harinya..
Tara
ingin mengajakku pergi makan siang bersama. Aku pun sudah lama, menunggunya di
kampus. Namun, tiba-tiba saja Tara membatalkan janjinya. Tara bilang, ia harus
berlatih basket dengan teman satu timnya.
Karena
belum makan siang, alhasil aku memilih untuk pergi ke kantin kampus. Aku pun duduk
disalah satu meja kantin, menikmati makan siangku. Tiba-tiba saja sosok Daru
muncul di depanku. Daru adalah salah satu teman tim basket dengan Tara. Hal ini
tentu saja membuatku penasaran, kenapa Daru tak ikut berlatih basket bersama
Tara.
“Daru?”
“Hey, Rena! Sendiri, nih?! Biasanya ‘kan, sama Tara!”
“Iya.
Tadi niatnya, mau makan bareng Tara. Tapi ternyata, Tara mendadak harus latihan
basket. Kamu gak ikut, Ru?”
“Latihan basket?” Tanya Daru,
keningnya berkerut heran. “Setahu ku, gak ada jadwal latihan basket hari ini..”
“Tapi
Tara bilang, dia mau latihan..”
Langganan:
Postingan (Atom)