Minggu, 05 Februari 2012

"Apakah Hidup Masih Berlanjut, Bu?"



Ini kisah 'real' lanjutan..
Mungkin sebagai manusia awam, kita akan berkata "Ini ujian terberat.."
Itu karena cara berfikir kita, terlalu terbatas.
Bahkan kita tak mengerti, jika ada hikmah dibaliknya.
Segala ujian hidup terjadi, bukan karena Tuhan tak adil. Tapi Tuhan tau, mana yang terbaik..

*****

Sebelum ayah meninggal, ia sempat meminjamkan sertifikat rumah ini kepada orang yang baru saja dikenalnya. Namanya, Pak Baithal. Orang itu beralasan ia sangat perlu uang, sehingga ia berniat untuk meminjam uang di bank atas jaminan sertifikat rumah kami. Ayah memang terlalu baik, ia lantas merasa kasihan. Ayah percaya begitu saja dengan orang yang baru dikenalnya. Tapi tidak dengan ibu, ia masih tak percaya dengan orang itu. Meski ibu sudah menasehati, ayah tetap saja percaya, jika suatu hari orang itu akan mengembalikannya.

Setelah bertahun-tahun, benar saja?
Orang itu tak pernah kembali, sampai akhirnya ayah meninggal dunia. Merasa uang pinjaman tak kunjung dikembalikan, akhirnya pihak bank datang ke rumah. Mereka meminta agar kami segera melunasi uang pinjaman Pak Baithal sebesar "100 juta". Jika kami tak melunasinya, hanya ada dua pilihan "uang pinjaman akan bertambah bunga atau rumah kami disita". Sungguh ini terasa berat dan tak adil. Kami yang baru saja kehilangan ayah, kini harus berurusan dengan pihak bank untuk melunasi uang pinjaman orang lain. Kenapa  harus kami yang membayarnya? Bahkan rumah kami terancam disita, karena Pak Baithal sudah menyerahkan sertifikat rumah kami sebagai jaminan pada pihak bank.


Ibu terus berusaha, mencari cara untuk melunasi uang pinjaman tersebut. Ibu meminta agar pihak bank mau memberi waktu, ibu tak ingin rumah kami disita. Karena ibu tak kunjung membayarnya, uang pinjaman pun semakin bertambah karena bunga. Tuhan tak tinggal diam, Ia Maha Penolong (Al-Musta'an).

Tiba-tiba ada orang baik yang mau menolong kami untuk melunasi semua uang pinjaman itu. Orang  itu tidak lain adalah adik kandung ibuku. Lantas ia membayar cash, uang pinjaman yang kini sudah bertambah jumlahnya menjadi "150 juta". Sejak saat itu, kami sudah dinyatakan tak memiliki urusan lagi dengan bank.

Tapi, bukan berarti semua telah berakhir. Ibu tentu saja masih berhutang budi dan juga uang pada adik kandungnya. Ibu pun, berniat menjual rumah itu agar dapat melunasi semua pinjaman. Bertahun-tahun sudah, tak ada orang yang berniat membeli. Ibu sungguh merasa tak nyaman, meski adik kandungnya tak pernah sekalipun memaksa agar uang itu dikembalikan secepatnya. Tetapi  ibu tetap saja, merasa tak enak hati..

Sampai akhirnya datang seseorang, bernama "Pak Darmawan" yang berniat membeli rumah kami. Harga jual rumah pun, sudah disepakati. Saat sebagian besar uang sudah diterima, itu artinya kami harus segera meninggalkan rumah ini. Jujur, sungguh berat dan sedih rasanya harus meninggalkan rumah ini. Bagaimana tidak? Aku, kakak dan adik, sudah menghabiskan masa kecil kami bertahun-tahun dirumah ini. Namun, bisa berkata apa? Rumah itu kini, bukan lagi rumah kami.

Dari hasil jual rumah itu, akhirnya ibu dapat melunasi uang adik kandungnya.
Pertanyaannya:
"Lantas, kami tinggal dimana?"

Setelah menjual dan meninggalkan rumah itu, ibu lantas mengajak kami menempati sebuah rumah baru. Rumah ini telah lama berdiri ditanah peninggalan ayahku. Ternyata selama berbulan-bulan menunggu adanya pembeli, tanpa kami ketahui ibu sudah mempersiapkan rumah baru ini untuk kami. Kami sungguh tak percaya, ibu melakukannya sendiri. Ibu yang melanjutkan pekerjaan ayah untuk membangun dan merenovasi rumah itu. Ibu juga yang membeli segala furniture dan perabotannya. Bahkan kamar tidur baru ku sudah terisi lengkap dan ibu yang mendekorasinya.


Ayah juga ternyata memiliki sebidang tanah, dimana telah berdiri beberapa bangunan yang kini berfungsi sebagai tempat tinggal sementara bagi para mahasiswa. Jadi tanpa harus bekerja pun, ibu sudah pasti akan mendapatkan rezeki setiap bulannya. Keluarga kami, tampak layaknya seperti sebuah keluarga normal dengan sosok ayah sebagai kepala keluarga. Mungkin ayah sudah  mempersiapkan hal ini, jauh-jauh hari. Mungkin ayah sudah merasa, suatu hari ia akan pergi meninggalkan kami. Satu hal yang aku ingat dari sosok ayah, selama hidupnya ia selalu melarang ibu bekerja. Ayah hanya ingin ibu mengurus anak-anaknya dirumah, sedangkan tugas mencari nafkah adalah kewajiban suami. Terlihat jelas, ayah begitu memegang teguh prinsipnya. Hingga setelah ia pergi pun, ayah membuat ibu tak perlu bekerja keras untuk mencari nafkah. Satu hal lagi yang membuat ibu begitu mencintai ayah. Jika ayah marah, tak pernah dalam hidupnya ia bertindak kasar pada ibu. Tangan ayah selalu bersih, ia tak pernah sekalipun memukul ibu.

Dapat menjalani kehidupan seperti keluarga normal lainnya, membuat kami sering tak percaya.
Bahkan kakak sering mengajak ibu bercanda, ia berkata..
"Ibu pernah terfikir? Rezeki yang ibu terima setiap bulannya, mungkin lebih besar dibanding seorang pegawai negeri. Bahkan mereka harus bekerja, sedangkan ibu cukup dirumah saja.."
Lantas ibu menjawab..
"Karena itu, kita tak boleh lupa bersyukur. Meski ibu tak bekerja dan menerima gajih dari manusia. Tapi atas seizin Tuhan, lantas rezeki itu  datang sendiri pada kita.."

Dengan segala kekuatan dan kesabaran, kini ibu telah berhasil membesarkan anak-anaknya seorang diri. Selama ini, ibu tak pernah mengharuskan dan memaksa kami untuk selalu menjadi juara, berprestasi, dan menjadi peringkat tertentu dikelas. Tapi sebagai anak, sudah semestinya kami sadar diri. Apa yang bisa kami berikan pada ibu, jika bukan prestasi? Tujuan kami menuntut ilmu hanya satu, "berprestasi". Jika kami berprestasi, kesempatan untuk mendapatkan beasiswa akan terbuka. Jika kami mendapatkan beasiswa, itu artinya kami akan dapat meringankan sedikit beban orang tua. Kami sangat berusaha untuk tidak menerima bantuan beasiswa atas dasar belas kasihan dengan beralasan "keluarga tak mampu". Kami ingin beasiswa yang kami terima adalah sebuah hasil kerja keras atas dasar meningkatnya prestasi akademik, bukan dengan meminta-minta.
Dengan bantuan dan izin Tuhan lah..
Ibu dapat menyelesaikan pendidikan anak pertamanya sebagai sarjana tekhnik (S.T), di Fakultas Tekhnik Universitas Gajah Mada. Kini kakak bekerja disebuah perusahaan sawasta, India.
Dengan bantuan dan izin Tuhan lah..
Ibu dapat menyelesaikan pendidikan anak keduanya sebagai sarjana sosial (S.Sos), di FISIP Universitas Lambung Mangkurat. Kini kakak bekerja disebuah kantor KPU, Kotabaru.
Dengan bantuan dan izin Tuhan lah..
Ibu dapat menyelesaikan pendidikan ku sebagai sarjana sains (S.Si), di FMIPA Universitas Lambung Mangkurat. Tapi kini, aku masih bergulat dengan dunia lamaku dibidang seni. Banyak yang bilang, aku salah jurusan. Tapi apa pun yang menjadi pilihan hidupku, kata ibu ia akan selalu mendukungku.
Dengan bantuan dan izin Tuhan lah..
Ibu dapat melanjutkan pendidikan adikku yang paling bungsu. Kini ia duduk dibangku kelas I, SMK Telkom Sandhy Putra. Mungkin ia salah satu anak yang paling membanggakan. Meski memiliki keluarga tak lengkap seperti teman lainnya, tapi ia membuktikan bahwa ia juga mampu berprestasi.
Semoga kami bisa segera, membalas budi baik ibu. Amin..

Pertanyaan masih berlanjut...
"Lalu bagaimana dengan orang yang kabur, setelah menggadaikan sertifikat rumahmu itu?"
Berita terakhir yang kami dapat..
Orang tersebut kini sedang berada di Aceh.
Ia jatuh sakit, ketika mengetahui semua sanak saudara dan hartanya lenyap tak bersisa akibat tragedi Tsunami yang terjadi diaceh tahun 2006 yang lalu.
Sekarang kami sekeluarga, sudah mengikhlaskan semua perbuatannya. Cukuplah Tuhan bagi kami yang membalasnya.

"Lalu bagaimana dengan  kabar adik kandung ibumu?"
Layaknya seperti saudara kandung, beliau masih sering kali memperhatikan kami. Pantaslah, jika kini Tuhan membalas kebaikannya. Kini beliau menjabat sebagai Deputi di Kementrian Lingkungan Hidup.

"Lalu orang yang membantu untuk membeli rumahmu?"
Kini kami sudah seperti keluarga. Bahkan setiap kali perayaan hari raya idul fitri tiba, mereka sekeluarga bersama anak-anaknya selalu menyempatkan diri untuk datang kerumah baruku. Namanya begitu sebanding dengan prilakunya. Pak Darmawan, memang sungguh orang yang dermawan.